Kesetaraan Gender dalam Perspektif Buddhisme: Menuju Dunia yang Adil dan Setara
Ditulis oleh Adelia Meitha Trifanie
Kesetaraan Gender dalam Perspektif Buddhisme: Menuju Dunia yang Adil dan Setara
Pada masa Pra-Buddha, sistem patriarki sangat kuat. Wanita dianggap milik kaum pria dan tidak memiliki kebebasan. Demikian pula di masa kolonial Belanda, bangsa kita juga mengalami kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam artikel “Kondisi Perempuan Pada Masa Kolonial Hindia Belanda Awal Abad 20” dijelaskan bahwa “Seoranggadis bangsawan tingkat rendah sampai atas pada waktu meningkat menjadi remaja, dimasukkan dalam “pingitan” dan tidak boleh keluar rumah lagi. Ini merupakan peraturan adat dan harus ditaati. Selama masa pingitan, semua hubungannya dengan masyarakat luar terputus, sampai pada saat gadis tersebut oleh orang tuanya dikawinkan dengan seorang pria yang bukan pilihannya sendiri dan bahkan seringkali juga belum pernah dikenalnya”.
Agama Buddha lahir di tengah-tengah pandangan yang menganggap bahwa kaum perempuan diposisikan sebagaikaum “pelengkap” yang tidak memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Tentu tidak mudah, karena Buddha memposisikan wanita sama dengan pria.
Hal ini terlihat ketika Mahapajapati Gotami memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhuni. Permohonan itu ditolak Sang Buddha. Mahapajapati Gotami tidak menyerah, dia berjuang dengandukungan Bhikkhu Ananda beserta 500 wanita yang telah memakai jubah dan mencukur rambutnya. Mereka menghadap kembali kepada Sang Buddha untuk menerimanya menjadi Bhikkhuni. Akhirnya Sang Buddha mengabulkan permintaanya. Namun, dia harus menjalankan syarat khusus (garudhamma) yang tidak dijalankan oleh Bhikkhu Sangha. Dari sinilah awal Agama Buddha mengangkat kedudukan wanita sama dengan pria.
Ajaran Buddha adalah ajaran untuk siapapun, tanpa membedakan jenis kelamin, maupun status sosial, Sang Buddha tidakmendiskriminasi laki-laki dan perempuan, bahkan status sosial. Sang Buddha memahami bahwa kualitas batin seseorang bukan berdasarkan jenis kelamin, kasta, kelahiran, namun karena perilaku manusia itu sendiri.
Dalam Vasala Sutta, Sang Buddha menjelaskan: “Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi Brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi Brahmana (mulia)”.
Bahkan, dalamKaraniyametta Sutta, ada sebuah kalimat yang menyatakan bahwa cinta kasih bagaikan seorang ibu melindungi anaknya yang tunggal. Dari kalimat ini jelas sekali, Sang Buddha memandang bahwa wanita memiliki perasaan cinta kasih yang luar biasa. Wanita bukan hanya sebagi seorang ibu bagi anaknya, namun juga sebagai seorang istri bagi suaminya.
Sang Buddha sudah mengkampanyekan kesetaraan gender jauh sebelum isu kesetaraan gender yang diperbincangkan belakangan ini. Selain dari sutta tersebut di atas, ada sebuah kisah ketika Sang Buddha menegaskankedudukan wanita bisa saja lebih tinggi dari laki-laki. Yaitu, ketika istri Raja Pasenadi melahirkan anak perempuan.
Saat itu, raja tidak menginginkan anak perempuan, dan kemudian Sang Buddha menyampaikan bahwa “Sebagian wanita adalah lebih baik daripada pria, O Raja. Ada wanita-wanita yang bijaksana, baik, yang menghormati ibu mertuanya, seperti dewa, dan yang tulus dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Mereka suatu hari mungkinmelahirkan anak laki-laki yang berani yang dapat memerintah kerajaan”.
Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Agama Buddha sangat menjunjung kesetaraan gender. Dalam kehidupan kemasyarakatan, kita saat ini hampir tidak ada batasan perbedaan seorang wanita dalam profesi pekerjaanya. Sebagai contoh, profesi sopir, tukang ojek saat ini juga dilakukan oleh wanita.
Namun, Sang Buddha pernah berpesan kepada Vesaka bahwa wanita akan memiliki kejayaan dan kesuksesanjika memiliki empat kualitas, yaitu: (1) mampu melaksanakan pekerjaanya, (2) mampu mengatur urusan rumah tangga, (3) berperilaku sesuai persetujuan pasangannya, dan (4) mampu menjaga penghasilan suaminya.
Kesetaraan gender bukan lagi hanya sebatas isu kontemporer, melainkan telah menjadi suatu kebutuhan hak asasimanusia yang mendasar. Bagaimana pandangan Buddhisme terhadap kesetaraan gender dan bagaimana kita, sebagai individu dan masyarakat, dapat bersama-sama membangun dunia yang adil dan setara?
Pandangan Buddhisme tentang Kesetaraan Gender: Samma Ditthi (Pandangan yang Benar)
Dalam ajaran Buddhisme, konsep Samma Ditthi atau "Pandangan yang Benar" mencakup pemahaman bahwasemua makhluk hidup memiliki potensi untuk mencapai pencerahan, tanpa memandang jenis kelamin. Kesetaraan gender tidak hanya dipandang sebagai hak, tetapi juga sebagai landasan mendasar untuk mencapai pemahaman yang benar.
Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan dalam Ajaran Mulia Buddhisme
Ajaran Buddhisme mendorong penganutnya untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk hak kesetaraan gender. Dalam konteks ini, kesetaraan dipandang sebagai prinsip yang melibatkan setiap individu memiliki hak yang sama untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, dan pencerahan, tanpa memandang jenis kelamin.
Kesetaraan Gender Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Kesetaraangender bukan hanya hak, melainkan juga tanggung jawab bersama. Buddhisme mengajarkan bahwa masyarakat yang adil dan setara memerlukan kontribusi dari setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau jenis kelamin. Kesetaraan gender dipandang sebagai fondasi untuk menciptakan harmoni dan kesejahteraan bersama.
Dimulai dari Diri Sendiri: Aksi Nyata untuk Kesetaraan Gender
Penting untuk diingat bahwa setiap langkah menuju kesetaraan gender dimulai dari diri sendiri. Buddhisme menekankan pentingnya tindakan individu untuk menciptakan perubahan positif. Refleksi pribadi dan tindakan nyata adalah kunci untuk meresapi nilai-nilai kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari.
#GerakBersama: Menyatu dalam Menceritakan Kesetaraan Gender
Melalui tagar #GerakBersama, kita diundang untuk berbagi cerita, pengalaman, dan inspirasi tentang kesetaraan gender. Dengan bersama-sama menceritakan dan memahami, kita dapat membentuk narasi positif tentang keberagaman dan kesetaraan, menciptakan kesadaran kolektif untuk perubahan. Dengan pandangan positif dari Buddhisme dan tindakan nyata dari setiap individu, kita dapat membawa perubahan signifikan menuju dunia yang lebih adil dan setara bagi semua.
Pandangan Buddhisme yang menekankan kesetaraan gender sebagai bagian dari pandangan yang benar, menciptakan dasar kuat untuk membangun dunia yang adil dan setara. Dengan mengintegrasikan ajaran Mulia Buddhisme dan mengangkat kesetaraan sebagai tanggung jawab bersama, kita dapat bersama-sama menciptakan harmoni dan kesejahteraan. Aksi nyata dimulai dari diri sendiri, dan melalui gerakan bersama seperti #GerakBersama, kita dapat membentuk narasi positif tentang kesetaraan gender untuk menciptakan perubahan yang signifikan.
Refrensi: https://kemenag.go.id/buddha/ajaran-buddha-tentang-kesetaraan-gender
Komentar
Posting Komentar